Virtual Communication


Porter mendefinisikan virtual community (komunitas virtual) sebagai sekumpulan individu atau rekan bisnis yang berinteraksi seputar minat yang sama, di mana interaksi ini didukung dan dimediasi oleh teknologi dan diatur oleh beberapa moderator ataupun aturan tertentu. McQuail mengutip Lindlof dan Schatzer (1998) mengatakan bahwa virtual community terbentuk karena adanya orang yang memiliki kesamaan minat dan sering berinteraksi satu sama lain. Virtual community ini dapat terbentuk dari berbagai media sosial dan jejaring sosial misalnya, Facebook.
( wikipedia )

PC, Laptop, Handphone, dan gadget-gadget lain yang mendukung sangat berperan banyak dalam berkembangnya komunikasi virtual ini. Istilah saya ini mungkin salah menurut anda, tapi menurut saya inilah istilah yang tepat untuk menggambarkan situasi yang ada sekarang ini.
Komunikasi dua arah secara verbal sedikit demi sedikit tergusur, orang-orang lebih cenderung menggunakan internet untuk berkomunikasi, komunikasi non verbal pun menjadi marak. Saya menyebutnya sebagai komunikasi virtual dan tidak sebagai komunikasi non verbal karena, disini komunikasi virtual ini lebih kepada penggunaan media social dan jejaring social di internet.
Pergaulan pun tak semonoton dulu yang harus keluar rumah untuk bergaul atau sekedar bertemu teman, sekarang ada Email, Skype, BBM, WhatsApp, dan bermacam-macam jejaring social, yang memungkinkan kita bisa berkomunikasi dengan teman-teman kita diluar sana. Titik beratnya ke jejaring social atau media social.
Hari seperti sekarang ini siapa coba yang belum punya akun social media atau jejaring social, mungkin Cuma sepersekian persen manusia di muka bumi yang belum punya. Dari kota sampai desa semua kecanduan.

Orang-orang sekarang lebih senang bercerita tentang keseharian mereka, kesedihan, apapun yang mereka alami, sampai-sampai berdoa pun mereka lakukan di media social atau jejaring social. Aneh, memang aneh, tapi itulah trend yang sedang berkembang sekarang ini.
Untuk tahu, sedang apa teman kita, apa yang mereka alami dan rasakan, cukup klik ID profile mereka, dan kita pun dapat melihat status mereka, simplenya perteman di internet.
Orang-orang lebih senang mengomentari status, memberi komentar dari status yang di tulis teman-teman mereka di jejaring social daripada berkomunikasi secara langsung dan memberi tanggapan kepada apa yang sedang teman mereka rasakan.

Hasil komunikasi ini kemudian terbangun, terbagi-bagi menurut kesamaan minat yang kemudian menjadi lahan untuk tumbuhnya beberapa komunitas.

WANITA DAN ROKOK

Melihat pria merokok itu sudah biasa, bapak saya perokok berat, abang saya pun demikian. Sebelum memasuki bangku kuliah, saya tidak pernah melihat seorang wanita merokok, mungkin karena masa sekolah saya tidak di kota yang semua serba bisa dilakukan, mau itu sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan. Saat menginjakkan kaki ke bangku kuliah, dan memulai hidup sendiri di kota Makassar ini hal yang demikian tabu dimata saya kemudian menjadi biasa saja. Betapa tidak, di tempat saya ngekost ada beberapa kamar yang isinya wanita perokok, tentu mereka saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa laiknya saya. Mereka ini tentunya tidak merokok di teras kamar mereka atau di beranda kosan, yang mereka lakukan masih dalam tahap sembunyi-sembunyi.

Lalu kemudian apakah paradigma saya ke mereka ini menjadi negatif, tidak semudah itu membuat paradigma terhadap orang lain. Pernah saya bertanya kepada mereka, mengapa merokok? Jawaban mereka sebagian besar sama "stress". Lalu saya mendalami lagi, stress karena apa? disini jawaban mereka beragam. Si A kemudian menjabarkan stress karena cowoknya, si B karena skripsinya yang tak kunjung selesai-selesai, Si C karena tugas kuliah yang numpuk, Si D karena masalah keluarganya, begitu banyak "karena" yang saya dapat untuk pertanyaan ini. Alasan mereka merokok yang negatif tidak saya dapatkan, mereka merokok stress mereka beralasan, mereka pun merokok tidak untuk pamer, bukan untuk unjuk ke sekitar kalau mereka sebagai bisa merokok, tidak. Paradigma yang saya bangun terhadap mereka justru paradigma positif, mereka masih punya rasa malu, mereka tidak meminum minuman beralkohol untuk menghilangkan stress, mereka tidak ke klub malam untuk menghilangkan stress mereka, walaupun ada sebagian dari mereka yang masih ke klub malam.

Kemarin, saya dan teman menghabiskan waktu weekend di sekitaran jalan penghibur Makassar, sorenya hunting foto, kemudian malamnya kami menghabiskan waktu di salah satu tempat makan yang bisa dibilang lumayan ramai dikunjungi di kota Makassar ini, baik tua maupun muda. Sore sebelum magrib, pengunjung tidak seberapa banyak, yang ada hanya beberapa orang pengunjung yang sebagian besar bersama anak-anak mereka. Kemudian menjelang magrib, pengunjung yang datang lebih banyak lagi, crowd sudah mulai terbangun, ditambah lagi dengan kehadiran live music. Pengunjung yang bersama keluarga dan anak-anak mereka pun meninggalkan tempat itu, berganti dengan pengunjung lain yang datang bersama teman-teman mereka. Hal yang menjadi ide saya untuk menulis wanita dan rokok itu bermula disini.

Disekitaran saya melihat banyak wanita, ada yang masih belia, dewasa, ibu-ibu pun banyak. Kemudian mata saya tertuju ke sekumpulan ibu-ibu yang posisi mejanya tidak jauh dari meja saya, ada yang berjilbab, ada pula yang tidak, mungkin mereka sedang arisan pikirku. Lalu selang beberapa saat, kembali saya melihat ke arah mereka, ada asap rokok dari arah sana, ada salah seorang ibu-ibu yang merokok, tidak hanya sebatang dua batang merokoknya. Sesaat kemudian meja didepan saya pun ada yang mengisinya, dua cowok dan dua cewek, mereka semua pun merokok. Di ujung kejauhan, disana pun ada wanita dan rokok. Ironis sekali pemandangan tersebut, mereka wanita, bukan berarti saya membela kaum pria untuk merokok. Kembali ke terbangunnya paradigma, negatif atau positif, itu tergantung kacamata setiap orang. Negatif tentu saja menjadi paradigma yang unggul di situasi ini. Mereka wanita, merokok, konotasi sebagian besar orang tentunya akan sangat memandang rendah si wanita perokok ini. Namun kembali lagi ke beberapa alasan teman-teman saya di atas mengapa mereka merokok, mungkin saja salah satu mereka merokok sama, bedanya teman-teman saya itu masih punya rasa malu untuk tidak tampil di depan umum dengan kebiasaan mereka yang bisa menimbulkan pandangan negatif terhadap mereka.

Ada beberapa pertanyaan yang muncul seketika melihat keadaan tersebut, yang paling mendaasar ke ibu-ibu yang tadi saya sebut mungkin sedang arisan. Apakah ini contoh yang baik ke anak-anak mereka, bukan tidak mungkin ibu itu tidak mempunyai seorang anak perempuan. bukan berarti saya menjudge ibu-ibu tadi tidak mampu memberi contoh yang baik ke anak-anaknya. Alangkah baiknya, bila di tempat umum seperti itu tidak melakukan aktifitas yang bisa memabangun paradigma negatif. Namun kembali lagi ke cara pandang masing-masing individu, yang memandang merokok itu tidak ada manfaatnya tentu tidak akan merokok.

Mendadak Photographer

Tahu instagram? Tidak tahu? Anda otomatis kudet alias kurang update. Ios, Android, Windows Phone sampai ke Blackberry pun aplikasi photo sharing ini ada. Aplikasi ini awalnya memang ekslusifitasnya hanya dipegang oleh IoS user, namun ketika booming Android melanda, mau tidak mau pengembang aplikasi inipun menyambangi Android. Tak hanya sampai di Android, di Windows Phone pun saat ini aplikasi Instagram ini bisa berjalan, kemudian merambah ke Blackberry. Disini saya tidak akan membahas instagramnya tapi user instagramnya.

Intro
Sebelum saya mengenal instagram dan mengunakannya menjadi media utama untuk photo sharing saya, terlebih dahulu saya telah berkenalan dengan Flickr besutan Yahoo! dan dengan dua aplikasi android yang bisa dibilang cukup tenar. 
  • Pertama, Flickr, Siapa yang tidak kenal dengan photo sharing besutan Yahoo! ini, flickr sudah sangat terkenal dikalangan photographer pro di seluruh dunia. Photo sharing ini saya gunakan sudah cukup lama sejak Juli 2010 dimana saat itu saya senang dengan kamera handphone ( yang saat itu masih Nokia ) saya untuk mengabadikan gambar. Sampai saat ini saya masih menggunakan Flickr, tapi tidak seaktif di instagram. 
  • Kedua, Picplz, aplikasi photo sharing ini tidak jauh beda dengan aplikasi photo sharing yang lain, filternya lumayan mumpuni ( saya lupa filter yang disediakan aplikasi ini ), saat itu aplikasi ini lumayan cukup terkenal di kalangan pengguna android. Saat ini aplikasi ini sudah tidak ada lagi di playstore android karena telah di shut down pada tanggal 3 Juli 2012. 
  • Yang ketiga, Streamzoo, untuk urusan filter aplikasi ini sangatlah jauh dari instagram, aplikasi ini menyuguhkan kira-kira 20 filter, yang menarik dari aplikasi ini dan tidak dimiliki oleh instagram, user bebas mengunggah poto mereka tidak harus dalam ukuran 1x1 atau square. Mengapa menggunakan instagram, bukan tetap pada streamzoo? User streamzoo kurang, apalagi area Makassar, teman yang menggunakannya pun bisa saya hitung dengan jari. Saat instagram menyambangi android, saya pun terlena seperti user android yang lain. Saat saya menulis artikel ini, streamzo di playstore sudah tidak saya temukan lagi.
Sepertinya intronya sudah sangat panjang, mari lanjut ke intinya.

Photographer dadakan, mengapa saya menyebut demikian?
Begitu instagram masuk ke android, berbondong-bondonglah user android mendownload dan mengunggah photo mereka. Peduli setan, mau poto itu bagus, mau poto itu jelek, yang penting upload. Nah, saat user-user ini menemukan beberapa photo yang sangat jauh dari hasil jepretan mereka, disini pulalah muncul rasa malu untuk mengunggah photo yang biasa-biasa saja. Dan saat mereka menemukan "kelompok-kelompok" atau "geng" bahkan komunitas, disinilah mereka akan mulai malu untuk mengunggah photo yang jauh dari layak, mereka akan mulai mensortir photo-photo mana saja yang akan mereka upload.

Coba lihat feed mereka yang baru menggunakan instagram, bandingkan dengan saat mereka sudah mengenal komunitas atau geng dalam instagram ini. Feed awal mereka tentu diwarnai dengan photo yang bisa dibilang asal upload, saat sudah mengenal kelompok-kelompok instagram photo feed mereka pun berubah drastis. Mereka disini bukan photographer pro, mereka yang saya maksud disini user-user yang sebelum mengenal instagram tidak "mengenal" dunia photography. Ada yang senang dengan HDR, ada yang senang dengan macro photography, ada yang senang dengan hitam putih, dan bermacam-macam lainnya. Disini saya melihat banyak yang kemudian mejadi "sok tahu", maaf saya menyebut demikian, mengapa? lihat saja komentar-komentar yang terpampang di komentar photo mereka, diantaranya "wow cadas, wow keren, top dan segala macam" yang sebenanrnya poto yang mereka komentari ini biasa-biasa saja, bahkan bisa dibilang sangat tidak layak untuk dikomentari demikian.

Fenomena yang lain lagi, ada ketidakpuasan saat mengambil poto hanya bermodalkan handphone, berbondong-bondonglah menggunakan user-user ini menggunakan kamera DSLR. Namun, saya tekankan sekali lagi, tidak semua user instagram seperti ini. Lalu kemudian berbondong-bondong menjadi photographer dadakan, yang memang dari awal sebelum mengenal instagram bisa bisa dibilang wajarlah ketika mereka melanjutkan hobby mereka, namun yang saya sebut sebagai photographer dadakan disini mereka yang sebenarnya tidak senang dengan dunia photography menjadi merasa terpaksa untuk mencintai photography. Demi menunjukkan ke eksistensisnya di "group atau bisa dibilang komunitas ini" mereka rela menyisihkan waktunya untuk ikut photowalk, jepret sana jepret sini.

Sisi positif dari sini yang kemudian saya tangkap, user-user ini kemudian paham bagaimana teknik, lebih menggali diri mereka di bidang ini, lebih ingin tahu lagi dengan dunia ini, yang pada akhirnya menghasilkan photo yang memang bisa dianggap layak untuk dipublisikan.
Teruslah berkarya, meskipun di cap sebagai photographer dadakan, mungkin suatu saat saya, kami, kamu bisa menjadi photographer dalam arti sebenarnya.
 

afri Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger