Rasanya menulis dengan topik sensitif seperti ini belum pantas bagi saya, hanya dengan jalan ini saya bisa bersuara dan melampiaskan kejengahan yang tiap tahun menjadi topik perdebatan. Tulisan ini hanya semata-mata untuk melampiaskan isi pikiran saya.
Perdebatan dengan topik yang sama, Desember di tanggal 25. Halal haramnya mengucapkan "Selamat Natal" bagi umat Nasrani. Ada yang menghalalkan ada pula yang mengharamkan, dalil yang menguatkan pendapat mereka masing-masing pun ada. Menjadi tradisi tiap tahunnya perdebatan ini, semua kalangan ikut ambil bagian seperti sudah menjadi kebiasaan yang sayang bila dilewatkan.
Sepertinya ucapan Selamat Natal bukan
lagi merupakan suatu rasa solidaritas, rasa suka cita bersama, membagi
kebahagian dan kepedulian kepada sesama, melainkan sebagai sesuatu yang
bisa meracuni hidup dan kehidupan, serta iman; oleh sebab itu harus
dihindari dan dilarang. Itu yang mungkin terpikirkan dari orang-orang yang mengharamkan ucapan ini.
Toleransi, apa salahnya kita mengucapkan natal kepada teman atau tetangga sekedar
untuk menghormati mereka. Hal terpenting didalam kehidupan beragama
adalah toleransi. Toleransi harus selalu dijaga, jika kita menghormati
orang lain in sha Allah orang lain pun akan menghormati kita. Bukan hanya
dalam beragama tapi juga dalam bermsayarakat, berbangsa dan bernegara,
toleransi antar sesama harus diutamakan.
Dan lagi pun, pengucapan Selamat Natal ini tidak bisa dijadikan tolak ukur seorang muslim sudah meyakini, mengimani Jesus sebagai Tuhan.
Lebih daripada itu, umat Kristiani tak berharap, meminta, menuntut ucapan Selamat Natal dari Siapapun.
Memberi – mengucapkan Selamat Natal tersebut, merupakan panggilan
nurani dan suara hati. Boleh dan tidak bolehnya – ya ataupun tidaknya,
tergantung input yang masuk ke/dalam nurani masing-masing orang.
“Agama adalah akhlak. agama adalah perilaku. agama adalah sikap. Semua
agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih dan cinta kasih sesama.
Bila kita cuma puasa, sholat, baca al-qur’an, pergi kebaktian, misa,
datang ke pura, menurut saya kita belum layak disebut orang yang
beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara,
menyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup
bersih, maka itulah orang beragama” - Ehma Ainun Nadjib
Selamat Natal bagi Saudaraku yang merayakan.